Kisah Kawin Campur (Bagian 6 – Tamat). Sisi Gelap Perkawinan Timur-Barat (10)
“Koelkast” Itu Selalu Digembok
Oleh : Yuyu A.N. Krisna Mandagie
MARIAHOEVE, DEN HAAG – Acara Dharma Wanita di Kedutaan Besar RI (KBRI) di Den Haag setiap Kamis kedua tiap bulan, baru saja bubar. Aku bergegas keluar karena masih ada keperluan ke pusat kota Den Haag. Tiba-tiba ibu Sari, yang dikenal sebagai aktivis di kalangan perempuan Islam, mendekatiku. “Mbak, mau minta tolong nih,” kata Sari.
“Memang ada apa?” aku balik bertanya. Tanpa menjawab pertanyaanku, ibu Sari malah langsung mengajakku ke rumahnya yang terletak di Mariahoeve, masih di kota Den Haag, tak jauh dari KBRI. Aku ikut saja masuk ke mobilnya. Rencanaku ke pusat kota Den Haag pun terlupakan.
Lalu kami tiba di rumah ibu Sari, di sebuah flat yang terletak di lantai 8. Di ruang tamu sudah ada seorang perempuan dan beberapa pemuda. Tamu perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Sri. Aku belum sempat menyeruput kopi yang dihidangkan, Sri sudah terisak. Perempuan muda ini berasal dari gudang beras di Jawa Barat, Karawang.
Lalu Sri bercerita tentang kehidupannya. Begini penuturannya: Setamat SMA aku dikawinkan orang tuaku dengan pemuda sekampung. Aku tidak mencintai suamiku itu, tetapi sebagai gadis desa aku tak berani membantah. Perkawinan itu membuahkan seorang putri yang manis. Karena suami tidak mempunyai pekerjaan tetap, aku terpaksa harus bekerja. Untung aku pernah les mengetik dan bahasa Inggris.
Aku bekerja di perusahaan milik Belanda di Karawang. Itulah sebabnya selain bahasa Inggris aku bisa sedikit-sedikit berbahasa Belanda. Aku adalah karyawan yang rajin. Hasil pekerjaanku disukai atasanku. Di kantor aku adalah perempuan aktif dan penggembira. Mungkin ini akibat pergaulanku setiap hari dengan laki-laki yang sebagian besar adalah orang asing yang kreatif dan penuh inisiatif.
Ternyata situasi ini memberikan dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadiku. Karena begitu pulang ke rumah, aku segera akan berhadapan dengan situasi yang jauh berbeda. Suami tidak bekerja, kurang inisiatif, mudah cemburu. Aku goyah. Aku mulai membuka diri dengan laki-laki asing di kantor. Ajakan makan siang berdua mulai aku ladeni. Dari makan siang meningkat ke makan malam. Aku mulai pulang ke rumah sedikit terlambat.
Alasan kerja lembur. Suamiku mulai curiga. Pertengkaran tak dapat dihindari. Hari demi hari makin menjadi-jadi. Puncaknya aku tidak pulang-pulang ke rumah. Aku kos di tempat lain. Mungkin perbuatan ini akan dikutuk oleh pembaca, karena aku istri yang tidak setia. Tetapi aku punya pandangan lain, seorang istri harus berani menjadi dirinya sendiri. Perkawinan bukan ikatan yang membatasi gerak istri untuk berubah. Mungkin karena perubahanku ini dinilai sangat negatif.
Tetapi kalau Anda berada di pihakku, maka penilaian itu akan menjadi lain. Apakah Anda sebagai istri akan bisa bertahan hidup bersama suami yang pemalas, yang tidak punya usaha dan inisiatif untuk mencari pekerjaan, bahkan selalu marah-marah, curiga dan cemburu?. Perbuatanku menjadi buah bibir para tetangga. Aku malu. Kami pun kemudian bercerai. Aku pindah ke kantor pusat di Jakarta. Nadia aku bawa.
Baca juga: Nikah Sama Bule Bukan Impian Saya
“Diusir” ke Indonesia
Hubunganku dengan laki-laki asing yang nota bene adalah bosku terputus. Dia harus kembali ke tanah airnya. Aku pun mengisi kekosongan itu dengan laki-laki asing lainnya, Leo, seorang Belanda. Tetapi hubungan yang hanya just for fun ini kemudian berubah serius. Singkat ceritera, kami menikah secara Islam di catatan sipil. Kemudian kami sekeluarga pindah ke Belanda.
Karena keadaan perekonomian dunia terpuruk, perusahaan tempat kami bekerja bangkrut. Leo dan aku kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kami hidup dari jaminan sosial yang diterima Leo. Jumlahnya sedikit sekali. Kami harus membayar sewa rumah, listrik, telepon dll. Kemewahan yang kami alami di Jakarta berubah menjadi hari-hari penuh perhitungan. Saat itu Leo berubah.
Sifat aslinya mulai kelihatan. Dia tidak pernah manis lagi pada diriku. Nadia selalu menjadi tumpuan kemarahannya. Leo menjadi peminum. Aku tidak pernah mendapat uang. Belanja sangat dibatasi. Leo mengatur segala-galanya. Belanja mingguan kami lakukan bersama tetapi sesuai dengan selera Leo. Isi lemari es hanya Leo yang tahu. Setiap hari lemari es digembok dan hanya dibuka oleh Leo pada jam-jam tertentu. Pada jam 08.00 pagi lemari es dibuka untuk mengambil mentega, selai atau daging asap untuk isi roti, atau susu buat sarapan.
Selesai sarapan, semua bahan dimasukkan lagi lalu lemari es digembok. Lemari es dibuka pada jam 12.00 saat makan siang dan jam 18.00 saat makan malam. Nadia sering dibentak karena meminta es krim yang ada dalam lemari es. Adakah istri yang hidup seperti aku? Kehidupan rumah tangga kami bagaikan neraka. Aku tidak tahan. Beberapa hari yang lalu aku dan Nadia lari dari rumah. Untung ketemu ibu Sari di Den Haag Central Station.
“Mereka sudah seminggu di sini,” ujar ibu Sari yang juga bersuamikan seorang Belanda tetapi nasibnya sangat bagus, karena Rob, suaminya, adalah seorang suami dan ayah yang baik. Hal itu terlihat dari banyaknya pemuda Indonesia yang sering datang di tempat ini. Mendengar semua ceritera Sri, aku trenyuh. Aku menasihatinya supaya tidak kembali ke Indonesia, bertahan sampai mendapat izin tinggal. Sri sampai saat itu masih tetap memegang paspor Indonesia.
Aku berpendirian demikian setelah mendengar kehidupan Sri yang serba susah di Karawang. Walaupun bagaimana, hidup materi di Belanda jauh lebih baik daripada di Indonesia. Tapi menurut ibu Sari, besok Leo akan menjemput Sri dan Nadia. Beberapa bulan aku tidak mendengar berita tentang Sri, hingga pada perayaan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus di Wisma Indonesia, Wassenaar, aku bertemu dengan ibu Sari. Dia bergegas menemuiku. “Sri dan Nadia sudah kembali ke Indonesia.
Leo membohongi mereka, diajak jalan-jalan ke Amsterdam tetapi mereka dibawa ke Schiphol dan langsung diurus terbang kembali ke Indonesia,” kata ibu Sari. Aku terpaku. Mungkin ini lebih baik bagi Sri dan Nadia. Aku berharap Sri membaca tulisan ini. Itulah permintaan Sri agar pengalamannya tidak terulang pada perempuan Indonesia lain. Dan aku sudah memenuhi janjiku pada Sri.
*****
Sisi Gelap Perkawinan Timur-Barat (11)
Hati-hati dengan Janji Juleha
untuk ke halaman berikutnya klik ⇒ Next/Lanjut
Saya pernah bbrp kali dengar agen tsb, legal dan bagus ko. Coba google aja 🙂 .
Wah, aku pernah dapat tawaran untuk tinggal di luar (mempelajari kehidupan di luar negeri) dan sambil bekerja rumahan untuk memenuhi uang saku bulanan. nama agensinya Delft Au Pair, itu agen legal bukan ya? khawatir di tipu.
Iya Den banyak lika likunya.
berlika-liku juga ya
Terima kasih Rifa ;).
pengalaman adalah pelajaran yang berharga.
bermanfaat sekali mbk postingannya. 🙂
Benar banget mbak Fufu ;). Tinggal di LN gajinya lebih besar, ehh pengeluaran juga lebih besar. Di Indonesia gaji kecil masih bisa nabung, di LN susahh :D.
makanya aku selalu saranin teman2 yang masih menetap di Indonesia, jangan karena cuma janji2 or omongan “wah enakan tinggal di luar negeri dong, bisa dapet suami or istri yang gajinya lebih besar dari Indonesia” jadi mau nurut2 saja diajak pindah dan menikah. paling krusial untuk wanita Indonesia, kalau diajak hubungan serius sama laki2 asing pastikan laki2 tsb memang tulus niatnya dan jujur 100%. laki2 yang baik pasti akan cerita sejujurnya ke calon istri ttg kerjaan, famili, teman, etc. dan selalu (entah ini kayaknya berlaku dimanapun ya Nella), laki2 lah yang harus temui si perempuan. bukan sebaliknya.
kisahnya udah tamat kah Nella?
Iya sedih ya :(.
ngeri juga ya. kasian sama wanita Indonesia yang banyak tergoda ketika melihat sang pria bule. padahal banyak yang nipu juga. dari cerita sebelum2nya juga yakk?.
Terima kasih pak Asmat ;).
Apapun jenis dan caranya suatu perkawinan, suatu kondisi sulit suatu saat akan timbul…
Bagi yang ingin memulai suatu perkawiban… Siapkah mental anda untuk berubah .?
Tingkatkan keahlian dan ketrampilan Anda…. Pengalaman tidak diutamakan….
Benar Ilmiy ;).
Jadi prinsip orang jawa yang harus kenal bibit bebet bobot itu ada benarnya juga ya mb.
Dan gak salah juga kalo kita masih menerapkan prinsip itu. 😀
Awal-awal biasanya belum kelihatan sifat masing-masing tuh, kemudian ketauan belangnya deh.
Setuju dengan mbak Ika ;).
yang penting emang harus selalu waspada ya. jangan terlalu terburu2. harus saling kenal dulu masing2. jangan sampe menyesal belakangan karena sifat aslinya baru keliatan.
Intinya harus lebih hati-hati lagi 🙂
Benar mbak Kayka, dari negara manapun calonnya harus mengenal dulu bibit, bebet & bobotnya ;).
terima kasih postingannya mbak nella 🙂
info yg berharga sekali ya mbak tidak hanya bagi wanita yg memiliki pasangan pria asing tetapi juga dari negara sendiri. untuk lebih mengenali calon pasangan hidupnya sebelum memutuskan ke tahap yg lebih jauh.
salam
/kayka