Beberapa Kisah Kawin Campur (Bagian 5)

Beberapa Kisah Kawin Campur (Bagian 5). Sisi Gelap Perkawinan Timur-Barat (7)

Aku Hanya Alat Reproduksi

Oleh: Yuyu A.N. Krisna Mandagie

Beberapa Kisah Kawin Campur (Bagian 5). freecodesource.com

Broken Heart

LOOSDRECHT – Belanda adalah sebuah negeri yang terletak di bawah permukaan laut. Contohnya, Bandara Internasional Schiphol terletak 4,5 meter di bawah permukaan laut. Di bidang pengaturan air, tak ada negara yang dapat menandingi Belanda. Di Belanda, air mempunyai fungsi sosial yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Rekreasi air berkembang dengan baik.

Loosdrecht adalah salah satu kota yang terkenal dengan wisata air. Kota ini terletak di pinggir Danau Loosdrecht yang cukup besar untuk ukuran Belanda. Walaupun tidak sebesar Danau Toba di Sumatera Utara atau Danau Tondano di Minahasa, Sulawesi Utara, Danau Loosdrecht sangat terkenal di Belanda. Di kota ini terdapat vila-vila dari aktor dan aktris dunia. Aktor Marlon Brando, Telly Savalas, semasa hidupnya sering berminggu-minggu berlibur di vila mereka di kota ini. Aktris Jean Seymour “Medicine Woman” yang keturunan Belanda sering nampak di kota ini. Vila-vila di kota ini dibangun dengan arsitektur yang menyatu dengan alam sekeliling danau.

Pada musim panas (Juni-Agustus) danau ini dipenuhi oleh perahu-perahu bermotor yang berseliweran dengan penumpangnya perempuan-perempuan bule berbikini yang mencari panasnya matahari. Tetapi bagi Ningsih, ibu muda beranak satu, semua keindahan yang ditawarkan oleh kota Danau Loosdrecht adalah semu. Beberapa tahun lalu perempuan ini disunting oleh Jansen, duda setengah baya. Dari luar saja, kita sudah dapat melihat bahwa pasangan ini “jomplang”.

Tulisan Terkini

Jansen seperti layaknya pria-pria asing berkulit putih dengan wajah mirip bintang film Harrison Ford. Sementara Ningsih masih polos seperti ABG kampung, tidak bermake-up, rambut lurus sebatas bahu. Rumah bagus di daerah yang berkelas di kota Loosdrecht adalah ukuran kesuksesan materi keluarga ini. Tetapi ada apa di balik itu?.

Suatu sore aku kedatangan tamu seorang ibu kenalan keluarga kami. Ibu ini membawa kiriman dari Indonesia buat Ningsih. Dia memintaku supaya mengantarnya ke rumah Ningsih di Loosdrecht yang letaknya dekat dengan Hilversum. Rumah Ningsih dengan rumahku hanya dipisahkan oleh lapangan bola.

Berdua kami berjalan kaki ke rumah Ningsih. Pagar besi rumah bagus itu tertutup rapat. Bel rumah beberapa kali kami tekan tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah. Kemudian seorang ibu tetangga Ningsih keluar dan menemui kami. “Mungkin keluarga Jansen sedang keluar,” ujarnya.

Menurut ibu (mevrouw) itu, keluarga Jansen agak lain dibandingkan keluarga-keluarga di wijk (lingkungan) itu. Mereka tidak bergaul dengan para tetangga. Ada kesan hidupnya eksklusif, atau sebenarnya ada sesuatu yang disembunyikan. Kehidupan orang Belanda terkesan individualistis.

Tetapi untuk bertegur sapa, itu hal yang lazim di kalangan mereka. Namun keluarga Jansen tidak pernah bertegur sapa dengan tetangganya. Bagaikan Pembantu Sore itu kami kembali lagi ke rumah Ningsih. Kali ini kami beruntung. Bel rumah yang kami tekan mendapat reaksi. Pintu rumah terbuka, sosok laki-laki Belanda berjalan ke luar dan menuju pagar. Pintu pagar dibuka dan lelaki itu dengan ramah mempersilakan kami berdua masuk.

Baca juga: Nikah Sama Bule Bukan Impian Saya

 

Memasuki rumah menuju ke ruang tamu kami harus melewati dapur. Di ruang tamu, seperti layaknya keluarga-keluarga Belanda, pasti ada kursi “raja”, yang ukurannya lebih besar dari kursi-kursi lainnya. Kursi itu dikhususkan untuk sang suami. Jansen, suami Ningsih, langsung duduk di kursi “raja”, menunjukkan dialah kepala rumah tangga di keluarga itu.

Keadaan di Indonesia mendominasi percakapan sore hari itu. Jansen mengutak-atik kebobrokan Indonesia. Dia mengemukakan argumen dan analisis sebagai orang Barat. Arogan, sok tahu dan menggurui. Kepalaku menjadi pening. Percakapan kami berubah menjadi debat. Adu argumentasi.

Ningsih tidak mengikuti percakapan kami. Dia sibuk di dapur membuka kiriman yang dibawa oleh ibu temanku itu. Tak lama Ningsih muncul dengan nampan membawa cangkir-cangkir kopi. Ada penganan khas Belanda kue speculaas, kue kering cokelat berbumbu. Ningsih berjalan terbungkuk-bungkuk seperti gaya seorang batur (pembantu). Dia kelihatan gugup ketika meletakkan mangkuk besar milik Jansen di atas meja, kemudian mempersilakan mengambil cangkir berisi teh.

Ningsih kemudian masuk ke dapur. Lama dia tidak ke ruang tamu untuk bergabung bersama kami. Setelah Jansen memanggil, barulah Ningsih keluar dari dapur dan duduk di pojok ruang tamu sambil mengawasi bayinya. Dari seluruh pembicaraan kami mengenai masalah yang terjadi di Indonesia, Jansen selalu mengaitkan sosok Ningsih di dalamnya. Seolah Ningsih adalah Indonesia yang patut dikasihani. Dia dibawa ke Belanda supaya lebih maju dan modern.

Ningsih diam tidak bereaksi atau berkomentar atas ucapan-ucapan Jansen. Ada kesan Ningsih takut pada Jansen. Ketakutan seorang pembantu pada tuannya. Ningsih berasal dari keluarga kurang mampu di pinggiran kota Bogor. Bisa lulus SMA saja sudah suatu berkat yang harus disyukuri. Lewat sebuah biro jodoh amatir Ningsih berkenalan dengan Jansen. Jansen kemudian datang ke Bogor, ingin melihat Ningsih secara langsung.

“Setelah Thailand, aku ke Indonesia. Aku punya banyak koleksi foto dan riwayat hidup perempuan-perempuan Asia,” ujar Jansen dengan gaya arogan, menceriterakan pada kami kisah perjumpaannya dengan Ningsih. Dari segi materi Jansen beruntung. Pekerjaannya sebagai akuntan di perusahaan jasa yang besar di Belanda, menyebabkan dia dapat memiliki mobil BMW seri terbaru, rumah bagus di kawasan elite di kota Loosdrecht, pakaiannya bermerek. Dengan gaji yang bagus Jansen bisa berlibur tiap tahun.

Hanya karena Iba

Jansen berjumpa dengan Ningsih di Bogor. Menurut Jansen, Ningsih bukan tipenya. Tetapi setelah melihat keadaan keluarga Ningsih timbul rasa ibanya, ingin mengangkat kehidupan ABG kampung ini. Tetapi sebenarnya keluarga Ningsih kurang berkenan anaknya kawin dengan Jansen. Ada beberapa kejadian yang membuat keluarga ini tawar hati.

Pernah kejadian, ice cream yang dibeli oleh Jansen dimakan oleh salah seorang keponakan Ningsih yang berusia 7 tahun. Jansen marah luar biasa. Ada juga beberapa peristiwa lain yang menunjukkan Jansen adalah manusia yang penuh perhitungan. Ningsih belum lagi berusia 20 tahun ketika dia harus menerima lamaran Jansen yang berusia 54 tahun. Mereka akhirnya menikah. Ningsih pun diboyong ke Negeri Belanda. Negeri yang rata dan selalu dingin.

Ningsih menjadi warga negara Belanda. Waktu itu siapa pun yang menikah dengan warga Belanda boleh menjadi warga negara Belanda. Namun akibat berbagai ulah teroris, Pemerintah Belanda memperketat peraturan menyangkut izin tinggal dan kewarganegaraan.

Beberapa hari setelah bertamu ke rumah Ningsih, aku bertemu dengan Ningsih bersama bayinya di winkel centrum (pusat pertokoan) Kerkelanden dekat rumah. Usai berbelanja, Ningsih dengan setengah memaksa ingin mampir ke rumahku. Kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang kiri kanannya dirimbuni pokok mawar hutan berwarna merah muda. Pemandangan yang indah. Tetapi seindah itukah perasaan Ningsih? Karena aku melihat “pelangi” di bola matanya. Tiba di rumah, tangis Ningsih pecah.

“Mbak, ada hal yang ingin aku ceriterakan”, Ningsih membuka percakapan. Perkawinanku sebenarnya adalah sebuah perbudakan dalam bentuk lain. Aku setiap malam harus melayani permintaan Jansen. Dia ingin punya anak banyak dari rahimku. Tetapi Mbak sendiri tahu kehidupan di Belanda kan sulit. Semua harus dikerjakan sendiri. Menggaji pembantu? Kita bisa bangkrut.

Bayiku belum lagi setahun, Jansen sudah ingin aku hamil lagi. Jansen memang cinta anak-anak, tetapi dia tidak mencintaiku. Aku hanya dipakai sebagai alat reproduksi untuk menghasilkan anak baginya. Dia mengharuskan aku makan makanan yang bergizi tinggi agar melahirkan bayi yang sehat. Tetapi lihatlah, Mbak, tubuhku tetap saja kurus. Sebab biarpun aku makan tiap hari tetapi kalau hatiku selalu terluka, tidak tenang, tetap saja kurus. Jansen orangnya kasar, suka menghina dan menekan harga diriku sebagai seorang perempuan yang hidup miskin yang berasal dari Indonesia.

Hatiku berontak tetapi aku harus menerima keadaan ini karena di kandunganku saat ini sudah ada janin. Aku harus menunggu hingga anakku lahir dan cukup besar, barulah aku akan mengambil langkah-langkah yang tegas. Kekasaran Jansen tidak saja di dalam rumah, tetapi juga saat bertamu ke rumah orang lain. Pernah dia mengempiskan ban mobil suami temanku sesama orang Indonesia. Aku dipermalukan saat itu. Dan kejadian lain yang memalukan sering terjadi. Jansen sering membentak aku di muka teman-teman.

Dan yang paling tidak aku sukai bila dia sudah mulai membicarakan masalah yang terjadi di Indonesia. Walaupun sekarang aku sudah warga negara Belanda, tetapi jiwaku masih Indonesia. Aku tetap merah putih. Sore itu aku hanya bisa menasihati Ningsih supaya jangan terlalu memikirkan hal-hal yang bisa mengganggu kandungannya. Tak lama sesudah pertemuan itu aku dengar Ningsih keguguran.

*****

Sisi Gelap Perkawinan Timur-Barat (8)

Jadi Objek Jiwa yang Sakit

untuk ke halaman berikutnya klik Next/Lanjut

16 Comments

  1. wahyu widodo August 25, 2013
  2. Risma Armia April 28, 2013
  3. pursuingmydreams April 28, 2013
  4. Risma Armia April 28, 2013
  5. pursuingmydreams April 21, 2013
  6. danirachmat April 21, 2013
  7. pursuingmydreams April 21, 2013
  8. pursuingmydreams April 21, 2013
  9. Tami Kunz April 21, 2013
  10. monda April 21, 2013
  11. pursuingmydreams April 20, 2013
  12. kayka April 20, 2013
  13. pursuingmydreams April 20, 2013
  14. pursuingmydreams April 20, 2013
  15. ninarahmaizar April 20, 2013
  16. kebomandi April 20, 2013
error: Content is protected !!